
kabarsatunusantara.com – Para pelaku usaha sound horeg di Jawa Timur bereaksi keras setelah Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa haram terhadap praktik hiburan tersebut. Mereka mengaku terkejut dan kecewa karena merasa belum diajak berdialog sebelum fatwa itu diumumkan.
MUI Jawa Timur menyatakan bahwa praktik penggunaan sound horeg—yang identik dengan musik keras, pesta jalanan, dan iring-iringan pengiring jenazah—mengandung unsur maksiat, gangguan ketertiban, dan mudarat bagi masyarakat. Oleh karena itu, MUI mengharamkan aktivitas tersebut.
Fatwa tersebut langsung memicu protes dari pelaku usaha. Mereka menilai MUI terlalu sepihak dan tidak mempertimbangkan aspek ekonomi serta budaya lokal. Beberapa pelaku usaha mengaku bahwa sound horeg sudah menjadi sumber penghasilan utama bagi ribuan orang, mulai dari teknisi, sopir, hingga penyedia jasa hiburan desa.
“Kami bukan hanya sekadar hiburan, tapi juga bagian dari tradisi lokal yang sudah turun-temurun. Kenapa tiba-tiba dilarang tanpa musyawarah?” ujar salah satu pelaku usaha dari Lamongan.
Di sisi lain, masyarakat juga terbelah. Sebagian mendukung fatwa MUI karena merasa terganggu dengan suara bising dan potensi kericuhan yang sering muncul saat iring-iringan berlangsung. Namun, sebagian lainnya menganggap larangan ini terlalu drastis dan berpotensi mematikan mata pencaharian rakyat kecil.
Pemerintah daerah menyatakan akan memfasilitasi dialog antara MUI dan pelaku usaha guna mencari solusi terbaik. Mereka berharap ada penertiban dan pengaturan yang bijak, bukan larangan total.
Saat ini, polemik fatwa haram terhadap sound horeg masih terus berkembang dan memunculkan perdebatan di berbagai lapisan masyarakat Jawa Timur.