
KABARSATUNUSANTARA.COM – Kebijakan luar negeri Amerika Serikat kembali menjadi sorotan setelah mantan Presiden Donald Trump mengumumkan bahwa Amerika akan menghentikan suplai sejumlah jenis obat ke negara-negara miskin sebagai bagian dari strategi baru “America First 2.0”. Kebijakan ini merupakan kelanjutan dari pendekatan proteksionis yang selama ini menjadi ciri khas kepemimpinan Trump, baik saat menjabat maupun dalam kampanye politik terbarunya menjelang pemilu 2024.
Keputusan ini menuai kritik tajam dari berbagai kalangan, mulai dari organisasi kemanusiaan internasional hingga pemerintah negara berkembang yang selama ini bergantung pada bantuan farmasi dari Amerika Serikat. Obat-obatan yang terdampak mencakup vaksin tertentu, antiretroviral (ARV) untuk HIV/AIDS, serta obat-obatan untuk penyakit menular seperti malaria dan tuberkulosis.
Alasan Penghentian Bantuan
Menurut pernyataan Trump dalam sebuah pidato di Ohio, penghentian suplai obat ini dilakukan untuk menjaga kestabilan pasokan dalam negeri dan menekan biaya kesehatan warga Amerika. “Kita tidak bisa terus memberi saat rakyat kita sendiri kekurangan,” ujar Trump, merujuk pada kelangkaan obat dan inflasi harga di sektor kesehatan AS.
Trump juga menuduh beberapa negara penerima bantuan “mengambil keuntungan tanpa berkontribusi” dan menekankan pentingnya pembagian tanggung jawab global. Ia menyatakan bahwa perusahaan-perusahaan farmasi AS akan diminta untuk memprioritaskan pasar domestik, setidaknya sampai “semua kebutuhan rakyat Amerika terpenuhi”.
Negara-Negara yang Paling Terdampak
Negara-negara di kawasan Sub-Sahara Afrika, beberapa wilayah Asia Selatan, serta negara-negara konflik seperti Yaman dan Sudan menjadi yang paling terdampak. Mereka selama ini mengandalkan bantuan dari badan-badan seperti PEPFAR (President’s Emergency Plan for AIDS Relief) dan USAID, yang mendapatkan pasokan utama dari produsen AS.
Bagaimana Dampaknya Terhadap Indonesia?
Berbeda dengan banyak negara berkembang lainnya, Indonesia diperkirakan tidak akan terlalu terdampak oleh kebijakan ini. Meski beberapa produk farmasi asal AS memang masuk ke pasar Indonesia, namun suplai obat penting di Indonesia sebagian besar berasal dari sumber lain, termasuk produksi lokal dan impor dari India, China, dan negara Eropa.
Kementerian Kesehatan RI menegaskan bahwa stok obat-obatan strategis nasional dalam kondisi aman dan ketergantungan Indonesia terhadap produk farmasi Amerika relatif rendah. “Kita sudah sejak lama mengembangkan produksi lokal untuk antiretroviral dan vaksin dasar. Selain itu, kerja sama kita lebih banyak dengan mitra dari Asia,” kata Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Kemenkes RI.
Selain itu, dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah Indonesia memang tengah mendorong kemandirian industri farmasi dalam negeri melalui kebijakan substitusi impor dan insentif untuk produsen lokal. Hal ini terbukti membantu dalam menghadapi ketidakpastian rantai pasok global, termasuk selama pandemi COVID-19.
Peluang untuk Industri Farmasi Nasional
Situasi ini justru bisa menjadi peluang bagi Indonesia untuk memperkuat industri farmasi nasional, terutama dalam hal ekspor ke negara-negara yang terdampak kebijakan AS. Beberapa produsen obat dalam negeri seperti Kimia Farma, Bio Farma, dan Kalbe Farma telah menunjukkan kapasitas produksi yang cukup besar, termasuk untuk obat-obatan generik dan vaksin.
Pemerintah juga dapat memanfaatkan momen ini untuk menjalin kerja sama strategis dengan negara-negara yang kini kekurangan suplai obat akibat kebijakan AS. Dengan dukungan diplomatik dan insentif industri, Indonesia berpeluang menjadi pemain kunci dalam rantai pasok farmasi regional, bahkan global.
Kesimpulan
Keputusan Donald Trump untuk menghentikan suplai obat ke negara miskin menjadi isu yang menyorot kepentingan nasionalisme dalam kebijakan kesehatan global. Meskipun menimbulkan dampak besar di sejumlah negara, Indonesia tampaknya tidak akan terlalu terpengaruh karena rendahnya ketergantungan terhadap obat asal Amerika dan meningkatnya kapasitas produksi dalam negeri.
Namun, pemerintah tetap harus waspada terhadap dinamika global dan memastikan bahwa sektor kesehatan nasional tidak hanya tahan terhadap guncangan eksternal, tapi juga mampu mengambil peluang dari pergeseran geopolitik ini. Kemandirian farmasi harus terus menjadi prioritas, tidak hanya untuk kebutuhan domestik, tetapi juga untuk kontribusi terhadap solidaritas global di masa depan.